Kamis, Januari 17, 2008

Social Learning at Work

Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 15 Januari 2008
Berbagai Bentuk Social Learning
Social learning is what? Apa itu Social Learning (SL)? Kalau mengacu pada penjelasan yang ada, SL adalah proses pembelajaran yang kita lakukan dengan cara melihat perilaku orang lain. Tak hanya berhenti pada melihat. Setelah kita melihat orang lain, kita kemudian menggunakan pelajaran yang kita dapatkan untuk memperbaiki diri. Jadi, isinya adalah: see, learn, dan apply. Makna Learning sendiri adalah proses belajar yang dengan sadar dilakukan untuk mengubah ke arah yang lebih bagus dengan menjadikan orang lain sebagai referensi, kaca perbandingan, guru, pembimbing, motivasi, inspirasi, dan seterusnya. Apa yang perlu kita ubah ke arah yang lebih bagus itu? Kalau tempat kerja konteksnya, yang perlu kita ubah adalah keahlian mental dan keahlian kerja. Yang perlu kita perbaiki adalah tingkat kesalehan, tingkat keahlian (kompetensi kerja) dan tingkat kemampuan berkomunikasi. Kenapa? Karena itu semua menjadi faktor kunci kemajuan karir kita. Jika seseorang hanya saleh (secara moral saja), namun kompetensi kerjanya rendah, maka kunci yang dimilikinya sedikit. Begitu juga jika yang ia miliki hanya kompetensi kerja saja namun kesalehan moralnya rendah. Jadi, kesalehan, keahlian dan komunikasi adalah tiga hal penting yang selalu butuh ditingkatkan. Social learning ini bisa kita lakukan untuk mendukung model pembelajaran yang disebut Generative Learning. Seperti yang pernah kita bahas, Generative Learning ini adalah proses pembelajaran yang kita lakukan untuk mendapatkan / mewujudkan apa yang kita inginkan (visi, tujuan, obyektif, target, dll). Jadi misalnya kita ingin meningkatkan kemampuan berkomunikasi. Kalau yang kita lakukan itu hanya membaca buku tentang komunikasi, mengikuti training tentang komunikasi atau melanjutkan kuliah di bidang komunikasi, tentu ini baik atau sudah baik. Namun akan lebih bagus lagi kalau ditambah dengan melihat langsung orang yang secara kemampuan berkomunikasi lebih kompeten dari kita lalu kita pelajari dan kita terapkan ke dalam diri kita. Dalam prakteknya, social learning ini jauh lebih cepat menghasilkan / memberikan hasil yang riil, terutama bagi orang dewasa. Menurut teori learning-nya, orang dewasa akan belajar dengan bagus apabila materi yang dipelajarinya itu relevan dengan praktek hidupnya dan materinya itu kongkrit (bukan konsep yang abstrak dan tidak mengharuskan kita menghafal). Sebuah studi yang dilakuan oleh NFIBI (National Federation of Independent Business, 1990, Washington) membuktikan bahwa para pengusaha yang ditelitinya mendapatkan ide-ide tentang usaha dari para seniornya. Mereka mendapatkan ide usaha dari mantan bosnya atau mantan pimpinannya. Social learning ini juga bisa kita gunakan sebagai pendukung atas model learning yang disebut Adaptative Learning. Adaptative Learning ini artinya kita berusaha untuk membebaskan diri dari masalah yang menghimpit, berusaha mengeluarkan solusi atas penderitaan yang kita alami, entah itu penderitaan fisik atau penderitaan batin. Jadi kalau kita ingin berubah ke arah yang lebih bagus sebagai reaksi atas penderitaan yang kita alami atau sebagai bentuk perlawanan atas persoalan yang kita hadapi, maka yang kita lakukan adalah Adaptative Learning. Untuk melakukan proses Adaptative Learning ini biasanya kita perlu melihat orang lain, bertanya kepada orang lain tentang apa saja yang ia lakukan ketika ia menghadapi persoalan seperti yang kita alami, dan lain-lain. Ketika kita mendapatkan jurus-jurus jitu dari orang lain lalu kita terapkan dan itu ternyata cespleng untuk mengatasi persoalan yang kita alami, maka yang kita lakukan adalah social learning. Di berbagai forum manajamen yang rutin saya hadiri, rupanya Social learning ini juga dirasakan cukup bermanfaat bagi kalangan menajer HRD. Secara bergantian, mereka mengungkapkan persoalan yang dijumpai di lapangan kemudian yang lain menanggapinya dengan solusi yang pernah dilakukan. Social learning di sini dilakukan dalam bentuk sharing. Konsep pengembangan kompetensi yang dirancang para pakar di bidang ini sangat menekankan pentingnya Social learning. Dalam konsep pengembangan kompetensi, ada empat hal yang disarankan untuk meningkatkan kompetensi seseorang. Keempatnya itu adalah: a) adult experiential education, (pendidikan berbasis pengalaman), b) motivation acquisition, peningkatan motivasi kerja dan motivasi belajar, c) social learning, dan d) self-directed change, pengembangan-diri secara terarah (Competence At Work, 1993). Ajaran agama pun sama. Kita diperintahkan untuk melihat prilaku orang lain, entah itu yang benar atau yang salah, dan juga diperintahkan untuk mempelajari akibat-akibatnya. Ini dimaksudkan agar kita bisa mengambil pelajaran dari prilaku orang lain itu supaya langkah kita lebih bagus atau terhindar dari penderitaan. Seorang mantan pengguna narkoba yang pernah bercakap-cakap dengan saya mengakui bahwa kesadarannya untuk berhenti mulai muncul setelah ia melihat kawan dekatnya ada yang masuk penjara dan ada yang meninggal dunia di depan matanya. Sosial Learning ini pada dasarnya bisa kita praktekkan secara langsung atau tidak langsung. Maksudnya, orang yang bisa kita ambil pelajarannya itu tidak harus orang yang secara fisik ada di sekeliling kita. Orang yang wajahnya hanya kita kenal melalui media massa atau berada di tempat yang secara fisik berjauhan dengan kita, itupun bisa. Dalam sebuah wawancara di stasiun TV swasta, Mas Franky mengakui bahwa guru musiknya adalah musikus luar negeri yang tak pernah berjumpa. Ia pelajari karya-karyanya, ia terapkan caranya bernyanyi, lalu ia modifikasi menurut keunikan dirinya. Hambatan Mental
Meskipun semua orang bisa melakukan Social learning ini (karena bisa dilakukan dimana saja, kapan saja, dengan siapa saja, dan gratis pula), tetapi pada prakteknya hanya sedikit orang yang melakukannya dengan kesadaran tinggi. Kenapa ini bisa terjadi? Karena ada sejumlah hambatan mental yang di antaranya adalah: Pertama, lemahnya dorongan untuk berubah. Dorongan untuk berubah di sini menjadi kunci. Learning, training, atau berbagai bentuk pendidikan telah dibuktikan tidak mampu memberikan efek positif yang signifikan pada diri seseorang yang lemah dorongannya untuk berubah. Ketika kita tidak memiliki dorongan untuk berubah, maka siapa pun yang ada di sekitar kita, kemungkinan besar tidak kita jadikan sebagai materi yang akan kita pelajari untuk memperbaiki diri. Learning adalah make sense atau memaknai peristiwa, memaknai keberadaan orang lain, memaknai resources yang ada atau memaknai apa saja yang ada di sekitar kita untuk perbaikan diri. Sebetulnya, kalau berbicara soal dorongan untuk berubah, semua orang memilikinya. Yang membedakan adalah kekuatan dari dorongan itu. Ada orang yang memiliki kualitas dorongan hanya pada level mulut. Artinya, keinginan untuk berubah itu hanya sebatas wish, angan-angan atau khayalan. Ada juga yang dorongannya hanya sebatas reaktif yang sifatnya sementara. Tapi ada juga yang kualitas dorongannya benar-benar didasari oleh kesadaran mendalam dan dilakukan secara kontinyu. Yang paling bagus adalah yang terakhir. Kedua, kehilangan perspektif terhadap orang lain. Orang lain itu secara hukum Tuhannya memang sudah dirancang memiliki sisi-sisi negatif dan sisi-sisi positif. Artinya, tidak ada manusia yang sempurna positifnya dan tidak ada pula yang sempurna negatifnya. Yang membedakan orang itu bukan soal apakah punya sisi negatif atau tidak, melainkan seberapa besar kepositifan yang dimiliki dibanding dengan kenegatifannya. Terlepas dari itu, apapun yang melekat pada diri orang lain itu bisa kita jadikan bahan untuk perbaikan-diri. Sisi negatifnya bisa kita jadikan warning, komparasi atau antisipasi. Sedangkan sisi positifnya bisa kita jadikan motivator, inspirator atau referensi. Setiap atasan itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Begitu juga bawahan. Ketika yang kita lihat dari seorang atasan itu hanya kejelekan-kejelakannya, lalu kita jadikan itu sebagai materi kunci dalam ngerumpi, selain hanya akan menambah dosa, pelajaran yang baik pun sulit kita dapatkan. Dengan kata lain, social learning akan terhambat apabila kita kehilangan perspektif yang fair dalam melihat orang lain. Hilangnya perspektif yang fair ini bisa disebabkan karena nafsu kebencian yang membabi buta atau cinta fanatisme yang membabi buta pula. Karena itu ada petuah bijak yang mengingatkan, jika engkau membenci orang lain, bencilah dengan fair (jangan sampai kehilangan perspektif). Begitu juga, cintailah orang lain itu dengan fair pula (jangan sampai membabi buta). Ketiga, merasa sudah paling hebat (arogan atau merasa sudah penuh). Syarat agar kita bisa belajar adalah menumbuhkan kesadaran seorang beginner (pemula). Kesadaran ini antara lain: haus ilmu, haus pengetahuan, haus pengalaman, membuka pikiran, kemauan yang keras, ketertarikan yang tinggi, dan lain-lain. Menurut kesimpulan Sydney Harris, ada perbedaan antara gaya hidup seorang pemenang dan pencundang. Katanya begini: "Para pemenang itu sadar betapa besar kebutuhannya untuk belajar, meskipun dirinya sudah dianggap ahli oleh orang lain. Sebaliknya, para pecundang itu menginginkan agar orang lain menganggap dirinya sebagai orang ahli padahal dirinya belum ahli" Keempat, minder. Orang yang minder seringkali gagal atau kesulitan melakukan proses social learning ini. Kenpa? Ini karena mereka melihat orang lain sebagai sosok yang tidak mungkin ia tiru langkah-langkahnya dalam menyelesaikan masalah atau dalam merealisasikan tujuan. Pada saat kita minder, biasanya kita berkesimpulan bahwa masalah yang kita hadapi adalah masalah yang pertama kalinya ada di dunia ini, belum pernah menimpa orang lain, dan lain-lain. Karena itu, keminderan juga bisa menjadi hambatan bagi bagi proses social learning. Kelima, kurang memiliki fokus pengembangan-diri berdasarkan tahapan-tahapan tertentu. Kenapa fokus ini penting? Alasannya sederhana. Ketika kita tidak memiliki fokus, maka kitapun tidak tahu materi yang penting dan yang tidak. Akibatnya, kita berasumsi bahwa semua orang lain itu tidak penting atau berasumsi bahwa semua orang lain itu penting. Fokus akan menyadarkan kita tentang materi yang kita butuhkan saat ini, materi yang kita butuhkan nanti, dan materi yang belum kita butuhkan saat ini. Proses Social Learning
Di sejumlah perusahaan nasional memang sudah ada sebagian yang menyadari pentingnya social learning ini. Sebuah perusahaan susu mengajarkan agar para karyawannya melihat / mengamati bagaimana karyawan lain (yang high performer) itu mengerjakan pekerjaan. Setelah mengamati barulah disuruh menerapkan hasil pengamatan itu ke dalam pekerjaanya. Setelah itu, disarankan pula untuk memodifikasi. Jadi, amati (take careful attention), terapkan (apply) dan modifikasi (modify). Kalau mengacu pada RH Dave's model (Anita Leeds, 2005), social learning itu bisa kita lakukan dengan cara-cara di bawah ini: - Imitasi - Manipulai - Reproduksi - Artikulasi - Naturalisasi Imitasi artinya kita mengamati orang lain lalu mencontoh. Manipulasi di sini maksudnya kita menjalankan apa yang diinstruksikan orang lain. Jadi mungkin kita bertanya kepada orang yang ingin kita contoh itu. Kemudian kita menjalankan seratus persen apa yang dikatakan orang itu. Reproduksi artinya kita menerapkan sendiri secara independen pengetahuan atau informasi yang kita dapatkan dari orang itu. Artikulasi artinya kita sudah bisa mengkombinasikannya dengan beberapa skill yang kita dapatkan dan sudah memiliki penjelasan sendiri tentang apa yang kita praktekkan. Naturalisasi maksudnya kita sudah bisa mengeluarkan jurus-jurus milik kita secara otomatik.
"Cara terbaik dan tercepat untuk belajar olahraga adalah dengan melihat dan meniru langsung pada juara olahraga." (Jean-Claude Killy) Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar: